Tari Gandrung, atau biasa disebut saja dengan Gandrung Banyuwangi adalah salah satu tarian tradisional Indonesia
yang berasal dari Banyuwangi. Oleh karena tarian ini pulalah,
Banyuwangi juga di juluki sebagai Kota Gandrung, dan terdapat beberapa
patung penari gandrung di setiap sudut kota.
Kata ""Gandrung"" diartikan sebagai terpesonanya masyarakat Blambangan yang agraris kepada Dewi Sri sebagai Dewi Padi yang membawa kesejahteraan bagi masyarakat
Tarian Gandrung Banyuwangi dibawakan sebagai perwujudan rasa syukur masyarakat setiap habis panen.[1]. Kesenian ini masih satu genre dengan seperti Ketuk Tilu di Jawa Barat, Tayub di Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian barat, Lengger di wilayah Banyumas dan Joged Bumbung di Bali,
Sejarah Tari Gandrung
Kesenian gandrung Banyuwangi muncul bersamaan dengan dibabadnya hutan
“Tirtagondo” (Tirta arum) untuk membangun ibu kota Balambangan
pengganti Pangpang (Ulu Pangpang) atas
prakarsa Mas Alit yang dilantik sebagai bupati pada tanggal 2 Februari
1774 di Ulupangpang Demikian antara lain yang diceritakan oleh para
sesepuh Banyuwangi tempo dulu.
semula Gandrung dilakukan oleh kaum lelaki yang membawa peralatan musik perkusi
berupa kendang dan beberapa rebana (terbang). Mereka setiap hari
berkeliling mendatangi tempat-tempat yang dihuni oleh sisa-sisa rakyat
Balambangan sebelah timur (dewasa ini meliputi Kab. Banyuwangi) yang
jumlahnya konon tinggal sekitar lima
ribu jiwa, akibat peperangan yaitu penyerbuan Kompeni yang dibantu oleh
Mataram dan Madura pada tahun 1767 untuk merebut Balambangan dari
kekuasaan Mangwi, hingga berakirnya perang Bayu yang sadis, keji dan
brutal dimenangkan oleh Kompeni pada tanggal 11 Oktober 1772.Berkat
munculnya gandrung yang dimanfaatkan sebagai alat perjuang dan
yang setiap saat acap kali mengadakan pagelaran dengan mendatangi
tempat-tempat yang dihuni oleh sisa-sisa rakyat yang hidup
bercerai-berai di pedesaan, di pedalaman dan bahkan sampai yang masih
menetap di hutan-hutan dengan keadaannya yang memprihatinkan, kemudian
mereka mau kembali kekampung halamannya semula untuk memulai membentuk
kehidupan baru atau sebagaian dari mereka ikut membabat hutan Tirta Arum
yang kemudian tinggal di ibukota yang baru di bangun atas prakarsa Mas
Alit. Setelah selesai ibu kota yang baru dibangun dikenal dengan nama
Banyuwangi sesuai dengan konotasi dari nama hutan yang dibabad
(Tirta-arum). Dari keterangan tersebut terlihat jelas bahwa tujuan
kelahiran kesenian ini ialah menyelamatkan sisa-sisa rakyat yang telah
dibantai habis-habisan oleh Kompeni dan membangun kembali bumi
Belambangan sebelah timur yang telah hancur porak-poranda akibat serbuan
Kompeni (yaitu yang dewasa ini meliputi Daerah Kabupaten Banyuwangi).
Gandrung wanita pertama yang dikenal dalam sejarah adalah gandrung Semi,
seorang anak kecil yang waktu itu masih berusia sepuluh tahun pada
tahun 1895. Menurut cerita yang dipercaya, waktu itu Semi menderita
penyakit yang cukup parah. Segala cara sudah dilakukan hingga ke dukun,
namun Semi tak juga kunjung sembuh. Sehingga ibu Semi (Mak Midhah)
bernazar seperti “Kadhung sira waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung
sing yo sing” (Bila kamu sembuh, saya jadikan kamu Seblang, kalau tidak
ya tidak jadi). Ternyata, akhirnya Semi sembuh dan dijadikan seblang sekaligus memulai babak baru dengan ditarikannya gandrung oleh wanita.
Menurut asal muasalnya, tarian ini berkisah tentang terpesonanya masyarakan Blambangan kepada Dewi padi, Dewi Sri yang membawa kesejahteraan bagi rakyat.
Tarian ini di bawakan sebagai ucapan syukur masyarakan pasca panen
dan dibawakan dengan iringan instrumen tradisional khas Jawa dan Bali.
Tarian ini di bawakan oleh sepasang penari, yaitu penari perempuan
sebagai penari utama atau penari gandrung, dan laki-laki yang biasa
langsung di ajak menari, biasa disebut sebagai paju.
Home »
» Tari Gandrung Banyuwangi
Posting Komentar